KLATEN- Sejumlah masyarakat mengaku kecewa mencuatnya dugaan pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina Patra Niaga.
Prayitno (40), warga Kemalang, menyatakan kekecewaannya setelah mengetahui dugaan tersebut. Ia yang biasa menggunakan Pertamax kini memutuskan untuk beralih ke Pertalit. “Ke depannya saya akan menggunakan Pertalit saja. Lebih aman dan terjamin, pelayanannya juga lebih ramah. Harganya pun hanya selisih beberapa ratus rupiah,” ujarnya, Rabu (26/2/2025).
Rafi biasanya menghabiskan Rp50.000 hingga Rp100.000 setiap minggu untuk membeli Pertamax di SPBU Pertamina.
Senada dengan Praiytno, Samijo (60) juga menyatakan rasa kecewanya dan berniat beralih Pertalit. “Kalau ingin mendapatkan bensin dengan kualitas setara Pertamax, lebih baik sekalian ke SPBU lain yang lebih terjamin,” ujarnya.
Ia merasa dirugikan karena telah membayar lebih untuk bahan bakar berkualitas, namun ternyata BBM tersebut dioplos. “Saya kecewa, karena sudah bayar lebih mahal, tapi ternyata kualitasnya tidak sesuai harapan,” tambahnya.
Dari berita media televisi yang didapatkan Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS), sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018–2023. Kejagung mengungkap bahwa PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite, lalu mencampurnya (blending) agar menyerupai Pertamax, tetapi tetap menjualnya dengan harga Pertamax.
“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92 (Pertamax), padahal yang dibeli sebenarnya hanya Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah, lalu dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92,” demikian pernyataan resmi dari Kejagung, Selasa (25/2/2025). Tindakan ini dinyatakan sebagai pelanggaran.